You are currently viewing Circuit Breaker 18 Maret 2025: Gejolak Pasar Saham Indonesia di tengah isu Global dan Domestik

Circuit Breaker 18 Maret 2025: Gejolak Pasar Saham Indonesia di tengah isu Global dan Domestik

Oleh : Budi Sutrisno, Direktur Utama Dana Pensiun BCA

Jakarta, dapengpib.com – Gonjang ganjing tentang peta ekonomi global maupun domestik menjadi sangat seru dan terkadang menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Tulisan berikut kami dapatkan secara langsung dari Bapak Budi Sutrisno dan  kami posting di media ini agar para pemerhati media ini mendapat gambaran yang jelas tentang perkembangan yang terjadi.

Latar Belakang

Pasar Ekuitas sempat dikejutkan dengan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) di PT Bursa Efek Indonesia, dan hal ini telah dikonfirmasi oleh pihak BEI tanggal 18 Maret 2025 pada jam 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS), yang dipicu penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai 5%. Setelah perdagangan dibuka kembali, IHSG ditutup di level 6.076, mencatatkan penurunan sebesar 6,11% dibandingkan hari sebelumnya.

Sebetulnya apa yang menjadi sebab BEI terkena Circuit Breaker? Beberapa faktor yang memicu berasal dari isu domestik dan global. Dari dalam negeri antara lain muncul rumor mengenai pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani, revisi Undang-Undang TNI, serta tekanan margin call yang mempengaruhi investor retail. Sementara dari sisi global masih diseputar kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang masih mempertahankan Trade War antara AS dengan trading patner terbesarnya Kanada, Meksiko dan Cina turut memberikan dampak negatif pada pasar Indonesia.

Kondisi IHSG dan Pergerakan Rupiah

Bila kita amati, IHSG telah mengalami penurunan sebesar 21% dari puncaknya (all time high) pada 19 September 2024 di level 7.905, sedangkan indeks LQ 45 turun hingga 28%.

Secara historis, pasar saham Indonesia sangat sensitif terhadap pergerakan nilai tukar dolar AS, sehingga Dollar Index (DXY) menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi IHSG.

bagaimana kondisi DXY pada saat ini?

Saat ini, DXY sedang mengalami penurunan, dari level tertinggi 110 pada Januari 2025 menjadi 104 pada pertengahan Maret 2025, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran resesi di AS dan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed sebanyak 3 (tiga) kali hingga akhir tahun 2025. Sayangnya, pelemahan dolar ini tidak diikuti oleh penguatan Rupiah, sebaliknya, Rupiah justru melemah sebesar 1%.

Kalau kita amati pergerakan Rupiah yang melemah sendiri dibanding dengan mata uang USD mengindikasikan bahwa pergerakan Rupiah sangat dipengaruhi oleh faktor domestik dibandingkan faktor global.

Ada beberapa isu yang beredar di masyarakat yang mempengaruhi pasar saham kita antara lain :

  1. Tidak tercapainya penerimaan pajak. Pada bulan Januari dan Februari 2025, penerimaan pajak hanya mencapai sebesar Rp 187,8 triliun atau turun 30,19% dari realisasi periode yang sama tahun 2024 sebesar Rp 269,02 triliun. Padahal target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah tahun ini cukup tinggi, yaitu Rp 2.189,3 triliun, seperti disampaikan dalam penjelasan pemerintah penyebab dari tidak tercapainya penerimaan pajak bulan Januari dan Februari ini adalah:
    • Penurunan harga komoditas, terjadi pada komoditas utama yaitu batu bara (-11,8%), minyak mentah Brent (-5,2%), dan nikel (-5,9%)
    • Dampak penerapan TER PPh 21, berlakunya mekanisme penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 sejak Januari 2024 berdampak pada timbulnya lebih bayar PPh 21 tersebut yang kemudian baru diprhitungkan pada masa pajak Desember 2024.
    • Relaksasi Sanksi Keterlambatan pembayaran PPN, Pemerintah juga menyebut penurunan pajak terjadi karena pemberian relaksasi atas pembayaran Pajak Pertamban Nilai (PPN) dalam negeri yang diperpanjang hingga 10 Maret 2025.
  1. Defisit Fiskal Februari 2025. Kekhawatiran meningkat terhadap pengeluaran pemerintah dan stabilitas ekonomi setelah kita menunjukan data deficit fiskal mencapai 0,1% dari PDB dalam dua bulan pertama 2025 (deficit pertama sejak 2021). Penyebab utama adalah penurunan tajam pada pendapatan Pemerintah yang turun 20,9% YoY, dengan pendapatan pajak anjlok 25% YoY, (seperti penjelasan diatas), sementara belanja pemerintah juga menurun 7% YoY, diduga karena upaya efisiensi. Penurunan belanja pemerintah menimbulkan kekhawatiran terhadap dampaknya pada daya beli dan aktivitas ekonomi.
  2. Isu terkait Danantara, sampai saat ini masih menjadi perbicangan umum terkait dari sisi eksekusinya, pengelolaan BUMN serta kebijakan investasi Danantara. Isu ini yang mempengaruhi emiten BUMN yang ada di bursa sehingga terjadi harga sahamnya terkoreksi.

Dari sisi global, pergerakan pasar saham Indonesia juga dipengaruhi oleh adanya arus keluar modal asing. Pada perdagangan bursa saham 18 Maret 2025 tercatat arus keluar modal asing sebesar USD 156 juta dalam sehari dan lebih dari USD 1,6 milyar sejak awal tahun (Year to Date/YTD). Investor asing telah melakukan aksi jual besar-besaran di pasar saham Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini mencerminkan sentimen negatif investor asing terhadap prospek pasar Indonesia, yang disebabkan beberapa faktor, termasuk ketidakpastian ekonomi global, pelemahan nilai tukar rupiah, kebijakan moneter yang lebih ketat, serta berbagai faktor domestic lainnya. (Sumber : Trimegah AM)

Berbagai upaya dan tanggapan Pemerintah menyikapi situasi saat ini.

Pemerintah sangat menaruh perhatian atas situasi yang terjadi saat ini dan segera mengambil langkah-langkah startegis:

  • Jajaran Kementerian Keuangan langsung memberikan press release pada 18 Maret 2025 yang disampaikan langsung oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati, dikatakan bahwa APBN tumbuh 6,6% pada Maret 2025, telah terjadi turn around, lebih baik dari pada data yang disampaikan Kemenkeu pada pekan sebelumnya, posisi pendapatan negara itu menunjukkan tren positif sejak 1-17 Maret 2025, sebelumnya memang diakui penerimaan bruto sempat minus 3,8% pada Februari 2025.
  • Selain itu Pemeritah memastikan bahwa Surat Utang Negara (SUN) masih menarik bagi investor. Dikatakan juga bahwa pemerintah akan menjaga defisit APBN diposisi 2,53% terhadap PDB (Produk Domestic Bruto).
  • Dari BEI sendiri melalui Ketuanya, Iman Rachman menegaskan bahwa penurunan IHSG akibat faktor global dan dalam negeri, namun ditegaskan bahwa Perusahaan Perusahaan yang tercatat di bursa secara fundamental memiliki kinerja yang solid, terbukti dari laporan keuangan tahun sebelumnya sebagian besar menunjukkan pemulihan dibanding dengan tahun 2023.
  • Pada tanggal 19 Maret 2025 di dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate yaitu tetap sebesar 5,75%. Seiring Keputusan ini, Bank Indonesia juga mempertahankan Deposit Facilty tetap sebesar 5,00% dan suku bunga Lending Facility tetap sebesar 6,5%. Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga inflasi 2025 dan 2026 yang diperkirakan terkendali dalam sasaran 2,5%+1% serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan sebesar 4,75%-5,5%.

 Penutup

Berdasarkan data yang tersedia, dapat disimpulan gejolak yang terjadi di pasar modal kita dipengarui oleh faktor global dan faktor domestik, jika harus di nilai dengan angka diperkirakan faktor global adalah 30%, sedang faktor domestik sebesar 70%. Kondisi berpotensi membantu nilai tukar Rupiah jika permasalahan domestik dapat teratasi dan faktor global turun di angka 20%.

Pemerintah sendiri sedang berusaha keras memperbaiki situasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan beberapa Keputusan antara lain: Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) berpotensi membantu menstabilkan nilai tukar Rupiah, serta Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan tetap di level 5,75% dalam upaya menahan agar nilai rupiah tetap stabil dan menarik investor tetap menarik untuk membeli SUN.

Dalam kondisi pasar yang volatil seperti saat ini, langkah-langkah kongkret yang kita harapkan dari Pemerintah dikutip dari Market update Trimegah AM, tanggal 18 Maret 2025 adalah sebagai berikut:

  • Publikasi neraca pendapatan negara bulan terakhir yang sudah final menunjukkan posisi yang “rebound “. Ini dapat memberi tranparansi ke investor bahwa penurunan yang ditunjukkan oleh angka pada bulan Februari 2025 sebagian besar dikarenakan oleh masalah teknis Core Tax, bukan karena real ekonomi kita yang collapse.
  • Koordinasi yang kuat antara Pemerintah, Bank Sentral dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna mendukung kredibilitas pasar modal dan menjaga stabilitas ekonomi. (ap)